Apakah saya harus senang ataukah malu?
Disatu sisi saya merasa senang karena dia mampu menyiarkan Islam.
Tapi sisi yg lain saya merasa malu karena saya tak mampu seperti dia
padahal dia hanyalah "muallaf" tapi sudah memiliki ilmu yg cukup luas.
Setelah hijrah, dia baru berumur 16 tahun dan saya sudah 19 tahun.
Jika ditimbang seharusnya ilmu kami tidak jauh berbeda.
Namun sayangnya kenyataan tidak seperti itu.
Dari dia saya sadar bahwa terkadang mengenal dan memahami lalu memiliki itu lebih baik
daripada memiliki lalu memahami kemudian.
Kata katanya terkadang sangat sarat oleh ilmu yg bermanfaat.
Terkadang dia juga bisa berpuitis yg mampu mengiris iris hati.
Terkadang dia juga bisa menjadi orang yg lucu tapi tetap dalam koridor.
Adalah sebuah keberkahan bagi ummat karena dia termasuk orang yang pintar.
Sudah sepatutnya kita bersyukur. Merangkulnya dalam ikatan Islam.
Tapi entah kenapa dia selalu dikritik. Bukan hanya dikritik sih, dia dihujat habis-habisan
Selayaknya yang terjadi pada Ustadz Abdul Somad.
Sungguh, aku tak habis fikir melihat perkembangan ummat ini.
Dia juga manusia biasa yg mungkin saja salah.
Mengapa harus di-judge? Kenapa tidak mengingatkannya?
Merangkulnya kembali jika dia mulai salah arah.
Menariknya kembali kejalan yang benar, Itupun jika dia memang terbukti sesat
Aku memang tak punya ilmu untuk melihat benar/salahnya beliau.
Tapi setidaknya, aku tidak menghujat dia dan aku tak menghina dia.
Malah aku senang dia mampu berjuang dijalan dakwah, yg aral melintangnya pun berasal dari orang Islam itu sendiri, dia tetap mampu teguh dan kuat.
Malah aku termotivasi olehnya.
Entahlah, entah apa yang harus kuungkapkan lagi.
Karena aku telah terlanjur mengidolakannya.
Ya, aku telah terlanjur nge fans dengan Ustadz Felix Siauw dan Ustadz Yahya Waloni. Semoga saja saya tidak berfanatik dgn beliau.
![]() |
Foto : Ustadz Felix Siauw Sumber : eramuslim.com |
No comments:
Post a Comment